Langsung ke konten utama

Nyaris Hypothermia di Semeru

Nyaris Hypothermia di Semeru

Pengalaman buruk ini terjadi ketika saya ke Semeru bulan November 2012 silam. Saya bersama teman-teman kampus, kira-kira total rombongan ada 30-an orang. Banyak yang ikut karena gabungan dari teman antar-kampus. Kami berangkat dari Surabaya naik sepeda motor pukul 12 malam biar lancar dan gak kena macet. Ini merupakan pendakian saya yang kedua setelah di bulan Juli 2012 ke Gunung Penanggungan. 


Karena masih pemula, persiapan saya pun tergolong apa adanya. Khususnya mengenai peralatan. Waktu itu saya belum sempat beli alat-alat mendaki. Mulai dari tas, jaket, sepatu, dan sebagainya. Tas saya masih pakai tas ransel biasa, bukan tas khusus hiking. Jaket saya bawa tiga rangkap. Sweater, jaket baseball, dan jaket parka. Sepatu juga sepatu kets buat main tennis pemberian dari paman saya. Untung waktu itu saya dapat pinjaman sleeping bag dari teman. 


Pagi harinya kami tiba di pos pendakian Ranupani. Hawa dingin sudah mulai terasa. Badan jadi menggigil. Padahal masih di pos pendakian. Gak kebayang gimana dinginnya Ranu Kumbulo atau Kalimati. Ternyata dugaan saya benar. Di awal perjalanan menuju Ranu Kumbolo, hujan turun tidak menentu. Meski saya membawa jas hujan plastik, tetap saja badan basah kuyup kena keringat karena bahan jaketnya tidak breathable. Sampai di Ranu Kumbolo kira-kira pukul 5 sore.


Hujan sempat reda dan tak lama kemudian gerimis. Terasa dinginnya luar biasa. Rasanya seperti menembus sampai ke tulang. Padahal saya sudah pakai 4 lapis pakaian: kaos oblong, kaos lengan panjang, sweater, dan jaket parka yang ada bulunya. Ketika di dalam tenda juga masih saja kedinginan padahal saya sudah pakai kaos kaki rangkap dua, sarung tangan, dan kupluk. Pakai sleeping bag-pun nyaris gak ada gunanya. Maklum, sleeping bag murahan. 


Sepanjang malam saya gak bisa tidur. Tak hanya saya, teman-teman yang lain juga sama. Saya sempat keluar untuk mampir tengok teman di tenda sebelah pun juga sama. Banyak diantara kami yang tergolong masih newbie, terutama soal peralatan dan pengalaman. Bahkan teman se-tenda saya lebih parah. Dia menggigil gak karuan. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Cuma bisa pasrah dan berdoa saja. Akhirnya saya bisa tidur meskipun dikit-dikit terbangun karena saking dinginnya. 


Paginya, saya bersyukur sekaligus lega karena malam yang suram sudah terlewati. Saya kembali optimis. Cuaca berkabut dan matahari sesekali menampakkan sinarnya. Tapi tetap saja suhu masih dingin hingga sekitar pukul 10 pagi. Setelah itu, cuaca cerah dan kami melanjutkan perjalanan ke Kalimati. Selama perjalanan ini, rasanya cuaca ngajakin berantem. Kadang hujan sebentar, terus panas lagi. Begitu seterusnya hingga sore hari. Sempat saya dan beberapa kawan berhenti untuk membuat shelter karena hujan lebat tak kunjung henti. Shelter tersebut terbuat dari dua buah jas hujan model poncho yang diikatkan ke pohon. 


Kami tiba di Kalimati menjelang pukul 5 sore. Kami langsung memasang tenda dan menyempatkan foto-foto sebentar. Semakin malam, udara semakin dingin. Saat itu saya ingat betul, salah satu malam terdingin yang pernah saya alami di gunung. Saya sempat mendengar obrolan dari tenda sebelah yang dihuni pendaki asal Bandung. Mereka bilang sih suhu waktu itu -2° Celsius. Di Kalimati juga sama dinginnya seperti Ranu Kumbolo. Malam itu cuaca cerah. Tidak gerimis seperti malam sebelumnya di Ranu Kumbolo.


Di dalam tenda, lagi-lagi saya gak bisa tidur karena menggigil kedinginan. Terdengar percakapan teman-teman saya di tenda sebelah. Mereka lagi berembuk siapa saja yang ikut ke puncak dini harinya. Dari sekian banyak rombongan, yang pergi ke puncak tidak lebih dari 5 orang saja. Entah saat itu berapa orang yang berhasil sampai ke puncak. Yang ada dipikiran saya waktu itu cuma ingin pulang. Sudah tidak betah lagi berada disana. Saya mawas diri untuk tidak ikut muncak. Secara fisik, persiapan dan peralatan, akan sangat berbahaya jika saya memaksakan diri.


Tas ransel saya tidak cukup menampung barang-barang bawaan ditambah dengan logistik. Terpaksa sleeping bag saya ikat di tas. Saat dipakai trekking, pundak terasa sakit karena memang tas ini bukan diperuntukkan buat mendaki. Risleting tas juga jebol akibat saking banyaknya barang bawaan yang saya jejalkan ke dalamnya. Belum lagi sepatu yang tidak waterproof dan lama keringnya. Jika sepatu basah ya otomatis kaos kakinya juga ikut basah. Sangat tidak nyaman saat dipakai trekking. Setidaknya saya masih beruntung karena kaki saya cuma lecet ringan saja.


Satu hal lagi hampir lupa, soal makanan. Selama disana makanan utama hanya mie instan saja. Camilan berupa snack juga ada tapi hanya sebatas makanan pribadi. Untuk makanan kelompok, kami hanya membawa mie instan. Sedih sekali rasanya, namun apa daya. Dari pendakian inilah saya belajar banyak hal. Pengalaman buruk di Semeru tidak akan pernah saya ulangi lagi. Saya kapok. Suatu hari nanti, saya akan kembali kesini. Saya berjanji dalam diri saya. Sampai saat itu tiba, saya akan terus melatih fisik dan menambah pengalaman saya. Tentunya semua itu harus dibarengi dengan peralatan mendaki yang mumpuni.


Singkat cerita selama pendakian rasanya enggak enjoy. Justru malah tersiksa. Kalau dipikir-pikir sih banyak susah daripada senangnya. Gara-gara kejadian itu, saya dapat pelajaran berharga. Seperti kata pepatah: pengalaman ialah sebaik-baiknya guru. Pelajaran apakah itu? simak di artikel saya berikutnya: Pelajaran Dari Semeru.