Langsung ke konten utama

Bahaya Memakai Sandal Gunung Dalam Pendakian

Bahaya Memakai Sandal Gunung Dalam Pendakian

Dari pengalaman saya mendaki gunung, tak serta merta saya pakai perlengkapan yang mumpuni. Awalnya saya beli peralatan yang paling murah. Baik itu tas, sepatu, jaket, sleeping bag, tenda, kompor, dan lain sebagainya. Secara bertahap jika ada uang, saya meng-upgradenya. Untungnya barang saya yang lama ketika saya jual selalu cepat laku. Mungkin karena hobi mendaki gunung makin banyak peminatnya kali ya. Justru karena itulah, saya tahu suka-dukanya pakai perlengkapan kelas bawah.


Saat pertama kali mendaki gunung, saya tak langsung beli sepatu. Debut saya di Penanggungan dan Arjuno-Welirang tahun 2012 kala itu masih memakai sandal gunung. Mengingat harganya yang murah, wajar bila pendaki pemula lebih memilih sandal gunung. Semakin sering mendaki, pasti akan paham pentingnya faktor kenyamanan dan keselamatan dalam pendakian. Memang memakai sandal gunung sangat ringan dan praktis, tapi itu saja tak cukup memberikan perlindungan menyeluruh terhadap kaki. Dari segi keamanan, sandal apapun jenisnya, jelas tak layak dipakai mendaki gunung. 


Contohnya ketika saya pakai muncak di Gunung Arjuno, jari kaki saya sempat berdarah akibat terkena batu. Belum lagi risiko terkena pacet. Sandal juga tidak cocok dipakai di trek berpasir seperti di Puncak Semeru karena pasirnya bakal nyangkut di bagian telapak kaki. 


Atas dasar itulah di pendakian saya berikutnya ke Semeru, saya memakai sepatu. Karena waktu itu belum punya uang buat beli sepatu gunung, terpaksa saya pakai sepatu kets pemberian paman saya. Sepatu ini mirip sepatu tenis. Pengencangnya pakai velcro sehingga praktis saat memakai maupun melepasnya. Masalahnya ialah: cocok-kah sepatu sports biasa dipakai untuk mendaki gunung?


Ternyata tidak asal sepatu cocok dipakai mendaki gunung. Meski sepatu kets yang saya pakai itu empuk dan lumayan lentur tetapi tidak memberikan daya cengkeram yang baik ke permukaan tanah. Akibatnya saya sering terpeleset karena waktu itu lagi musim hujan sehingga medan jadi sangat licin. Sepatu ini juga tidak waterproof. Alhasil ketika basah bakal lama keringnya. Apabila sepatu basah maka otomatis kaos kaki-nya pun juga ikut basah. Sangat tidak nyaman. Jika sudah demikian akan menyebabkan kaki lecet. Untungnya waktu itu kaki saya lecetnya gak begitu parah.


Dari pengalaman itu, saya putuskan untuk membeli sepatu gunung yang model mid (lihat gambar di atas untuk lebih jelasnya). Saya pilih model ini karena mampu melindungi pergelangan kaki sehingga bisa meminimalisir risiko keseleo. Tumpuan sepatu model ini juga lebih baik daripada yang model low. Terlebih lagi bila dipakai trekking jarak jauh yang memakan waktu hingga berhari-hari. Sedangkan sepatu model low lebih cocok dipakai trail running karena bobotnya ringan sehingga pergelangan kaki bisa leluasa bergerak. Untuk tips memilih sepatu gunung, bisa anda simak disini.


Sepatu gunung juga membantu menopang kaki. Kok bisa? pada prinsipnya, semakin berat bobot barang bawaan, maka tekanan pada kaki juga akan semakin berat. Untuk itu diperlukan sepatu gunung supaya berat tubuh beserta bobot barang bawaan bisa tertumpu dan tertopang merata di kaki.


Selanjutnya, memakai sepatu gunung saja tidak cukup jika tanpa kaos kaki. Pastikan kaos kaki ini selalu dalam kondisi kering. Bawalah kaos kaki cadangan secukupnya. Selain itu, pakailah gaiter jika melewati medan berpasir atau saat hujan supaya kerikil dan air tidak masuk ke dalam sepatu. Begitu juga soal perawatan sepatu. Perlu diperhatikan cara mencuci dan menyimpan yang benar supaya awet. Baca tipsnya disini.


Kekurangan sandal gunung:
  • Tidak memberikan proteksi menyeluruh terhadap kaki
  • Grip-nya tidak sebaik sepatu gunung
  • Tidak cocok dipakai di trek berpasir dan kerikil
  • Tidak memberi insulasi pada kaki


Kesimpulan
Sepatu gunung telah di desain secara spesifik untuk dipakai trekking. Tak ada lagi alasan untuk memakai sandal. Memang perlengkapan mendaki yang berkualitas tak selalu identik dengan harga mahal, tetapi setidaknya prinsip Jawa: ono rego ono rupo yang artinya ada harga ada kualitas, ada benarnya juga. Bersyukurlah kita jika termasuk pendaki yang berdompet tebal.