Langsung ke konten utama

Merk Outdoor Langitan: Worth It kah?

Merk-merk Outdoor Langitan Arc'teryx, Mountain Hardwear, Fjallraven. Worth It kah

Belakangan karena makin marak orang naik gunung maka makin banyak pula toko ataupun produsen yang menjual peralatan outdoor. Baik itu retail, home industry, perorangan, maupun toko online. Hal ini sangat lumrah. Imbas dari teori dasar ekonomi, supply and demand. Dari yang lokal macam Eiger, Rei, Consina, Cozmeed, Avtech, dan sebagainya hingga bikinan luar seperti The North Face, Jack Wolfskin, Berghaus, Columbia, Patagonia, dan lain-lain.


Selain yang saya sebutkan diatas, ada juga merk high-end seperti Arc'teryx, Mountain Hardwear, Mammut, Black Diamond, dan Fjallraven. Merk ini biasanya cuma ngeluarin produk dengan spesifikasi menengah keatas dan sudah pasti harganya pun mahal. Merk langitan, kata rekan saya yang berprofesi sebagai pengepul alat-alat outdoor bekas di Jakarta. Kalau dilihat dari spesifikasinya, memang sangat menggiurkan. Pertanyaannya: worth it kah?


Di negeri asalnya sana kebanyakan merk-merk langitan dipakai untuk olahraga di daerah bersalju. Semisal snowboard dan ice climbing sehingga memang spesifikasinya sangat tinggi. Terlalu mubazir jika hanya dipakai hiking di Indonesia yang beriklim tropis. Apalagi gunung-gunung di Indonesia sendiri umumnya cuma butuh trekking doank. Enggak perlu climbing. Jadi tidak butuh technical approach tinggi layaknya di negara bersalju.


Jawabannya akan sangat subjektif. Tapi setidaknya bisa diukur dari kegunaan dan manfaat dari barang tersebut. Prinsip ini disebut dengan utilitas. Karena saya kuliah jurusan ekonomi, ya saya pakai logika berpikir secara ekonomi(s). Prinsip utilitas intinya menyatakan bahwa pada dasarnya kita membeli barang berdasarkan kegunaannya. Jadi, harga atau value dari suatu barang dinilai berdasarkan sejauh mana barang tersebut berguna bagi pemenuhan kebutuhan kita. Saya tak akan membahas teori ini panjang lebar.


Semisal kita akan membeli jaket waterproof buat hiking. Kita akan mencari jaket yang tak hanya waterproof, tapi juga harus breathable supaya gak bikin gerah. Pilihan kita tak jauh dari jaket yang berbahan Gore-Tex. Kalau Sanyo dikenal sebagai merk pompa air yang paling legendaris, maka Gore-Tex juga demikian. Bahkan istilah Gore-Tex sampai kini masih sering dipakai bakul-bakul outdoor untuk menyebut istilah waterproof-breathable. Padahal belum tentu bahannya terbuat dari Gore-Tex. Bisa jadi dari kain parasit, taslan, atau silnilon yang mana bahan tersebut sebetulnya tidak breathable. Inilah yang sering bikin rancu, terutama bagi pendaki pemula.


Balik lagi ke prinsip utilitas tadi. Seberapa dalamkah kita merogoh kocek buat beli jaket waterproof-breathable? Kalau saya berduit mungkin bakal beli Arc'teryx Alpha SV, Fjallraven Keb Eco-Shell, atau Mammut Meron yang harganya sekitar 5 sampai 7 jutaan. Belum termasuk baselayer, celana, sepatu, tas, tenda, sleeping bag, kompor, headlamp, dan berbagai printilan lainnya. Kalau di total bisa mencapai 30 juta. Edan tenan. Eits!, itu kalau belinya dari merk-merk yang serba langitan. Kalau mau berhemat bisa beli yang versi menengah ke bawah. Barang semacam ini banyak dijual online. Harganya antara 400 ribu sampai satu jutaan. Gimanapun juga, hiking gak bisa dibilang hobi yang murah. Kalau ingin murah meriah ya bisa saja tapi bakal ngorbanin kenyamanan dan keselamatan. Ingat falsafah Jawa: Ono rego ono rupo. Ada harga ada kualitas.


Lalu harus bagaimana? solusinya cuma satu: musti pinter-pinter ambil jalan tengah. Kualitas tak selalu identik dengan harga mahal. Tak usah iri sama pendaki yang berdompet tebal. Jika anda termasuk pendaki kere, seperti saya, maka harus bisa mengambil jalan tengah antara kebutuhan dan harga. Buat apa beli barang mahal-mahal jika bisa dapat yang lebih murah dengan fungsi dan kegunaan yang sama. Lagipula kepuasan hiking terletak dari sisi emosional (batiniah), bukan dari materi. Jangan terlalu boros duit buat beli peralatan. Sisakan uang buat ngetrip. Kalau beli perlengkapan mulu kapan naik gunungnya?


Saya sendiri sejak pertama kali terjun ke dunia persilatan sempat berpikir mau mengoleksi item-item dewa. Bahkan saya sempat jadi fanboy salah satu merk outdoor. Dari mulai jaket, sepatu, hingga tas harus beli yang merk itu. Lama-lama saya mikir kalau nurutin prestise gak bakal ada habisnya. Saya sadar diri jika saya pendaki kere. Harus rajin menabung dan tidak sombong supaya ada simpanan buat ongkos ngetrip. Dulu saya pernah beli jaket Arc'teryx Beta SL dan Mountain Hardwear Stretch Cohesion. Beli second namun masih bagus kondisinya. Setelah beberapa kali saya pakai naik gunung, jaket itupun saya jual karena lagi butuh uang. Sekarang saya pakai jaket Columbia Watertight II. Beli baru seharga setengah juta. Enggak begitu terasa perbedaannya. Bahkan secara kualitas sebenarnya tidak beda jauh. Dilihat dari performa, waterproofingnya sama-sama bandel. Yang beda hanya dari segi breathabilitas-nya saja. Itupun cuma beda tipis.


Begitu juga dengan tas carrier. Saya sudah 3 tahun pakai Deuter Aircontact Pro 60+15. Pernah nyobain Gregory Baltoro 65 punya teman yang harganya 4 jutaan. Nyaris dua kali lipat dari harga Aircontact Pro. Rasanya lebih sreg-an pakai Deuter. Selain backsystem yang menurut saya lebih nyaman, kantongnya pun juga lebih banyak. Di Gregory Baltoro kagak ada kantong samping yang biasa saya pakai buat naruh botol minuman. Jadi kalau mau ambil minum harus ngeluarin dulu dari dalam tas. Faktor lainnya yakni soal raincover. Kebanyakan tas Deuter sudah include raincover sedangkan raincover Gregory dijual terpisah seharga 450 ribu. Bicara soal carrier pun, kini banyak tas produksi lokal dengan kualitas mumpuni. Seri terbaru keluaran Eiger misalnya, kini sudah banyak yang ultralight dengan desain khas bikinan Eropa [baca tulisan saya disini].


Mungkin yang lumayan terasa kualitasnya ialah soal sepatu. Saya pernah pakai sepatu Karrimor KW bikinan lokal berbahan kulit seharga 300 ribuan, Eiger W134 seharga 800 ribu, dan terakhir Merrell Moab Mid GTX yang saat itu harganya masih satu jutaan. Dari ketiga sepatu tersebut, harga memang tidak pernah bohong. Perbedaan kualitasnya cukup terasa meski gak terlalu signifikan. Dua faktor yang gak bisa dibohongi antara lain soal kenyamanan dan daya tahan. Saya belum pernah pakai sepatu merk langitan macam Asolo, Meindl, atau Lowa. Teman saya pakai Salomon Quest II 4D GTX yang kini harganya tiga jutaan. Sempat beberapa kali naik gunung bareng saya. Pas diguyur hujan lebat, lama-lama bakal merembes juga meskipun sudah pakai celana waterproof dan gaiter. Ketika dijemur pun lama keringnya.


Memang pemilihan merk adalah soal selera, yang mana tentu berbeda-beda tiap orang. Namun jika dilihat dari prinsip utilitas, saya berkesimpulan bahwa harga mahal tak selalu identik dengan kualitas. Dari pengalaman itulah tiap kepengin beli merk langitan selalu saya tanya dalam hati: worth it kah? menurut saya sih enggak. Gimana kalau anda?